Angin
berhembus dari jendela kamar yang terbuka setengah. Lantunan music jazz pelan
terdengar dari salah satu sudut kamar. Sambil sesekali menggoyangkan kaki
mengikuti irama dari music tersebut seorang gadis terlihat ragu-ragu setiap
kali melemparkan pandangan pada jam berbentuk kelinci dikamarnya.
Seakan
sedang menunggu sesuatu, dia tampak resah diatas Kasur bermotif zebra.
Sementara jarum jam yang terus berdentang semakin membuat dia pasrah. Waktu
sudah menunjukkan pukul 19:18. Dia beranjak dari tempatnya dan berdiri di depan
kaca yang berukuran hampir seukuran tinggi tubuhnya. Sweater abu-abu panjang
dan jeans pendek yang melekat pada tubuh gadis itu terlihat membuat dia nyaman dengan
kaki yang dibalut oleh kaus kaki berwarna rose bergambar kelinci. Kali ini dia
sambil menjentikkan jemarinya perlahan
ke kaca.
Seolah
sedang bercerita dengan bayangan di cermin, dia kemudian mengangkat sebelah
alisnya dan melengos pergi. Perlahan dia menuruni tangga dari kamarnya menuju
ke salah satu ruangan tempat dia berganti pakaian.
Setelah
hampir setengah jam memilih baju mana yang cocok, gadis itu akhirnya memutuskan
memakai sweater pink panjang dan rok pendek tosca. Berdirilah dia di depan kaca
di ruangan itu sambil menyisir lembut rambutnya dan menyibakkannya ke samping.
Manis.
Sementara
gadis itu menyisir rambutnya, terdengarlah suara seorang gadis lain sebayanya
yang memanggil-manggil namanya. Ternyata gadis itu adalah temannya yang sedari
tadi ia tunggu. Diapun pergi dengan bersepatukan teplek abu-abu yang membuat
dia semakin terlihat menggemaskan.
Setelah
menjemput salah satu teman mereka yang lain, mereka kemudian menuju ke sebuah
alamat. Malam itu mereka pergi ke rumah salah satu guru mereka ketika SMA dulu.
Sesampainya di alamat tersebut, berjumpalah gadis ini dengan teman-temannya
yang dulu pernah berjuang bersama-sama saat menuntut ilmu. Yah, dengan
dipayungi langit malam, mereka hanyut dalam kenangan masa sekolah dulu.
Setelah
beberapa lama bercengkrama dan bertukar kontak, gadis ini pamit untuk pulang.
Sekali lagi, ada keresahan yang menggerogoti hatinya. Entah kenapa malam itu
langit terasa lebih pekat olehnya. Hanya ada beberapa bintang yang menambah
aksesoris langit malam kala itu.
Setibanya
dirumah, dia langsung menaiki tangga. Pelan, resah. Sesudah mengganti rok
dengan celana jeans pendek dan kembali menggunakan kaus kaki kelincinya, dia
menggeser kursi ke samping jendela kamar. Kini di tangannya ada sebuah buku
kecil yang sering dia gunakan untuk sekedar mencoret-coret hal yang membuat dia
senang dan sebuah pena. Diatas kertas putih dia bercengkrama dengan untaian
kata.
“Ditemani
malam yang syahdu
Kuambil
sebuah buku
Seakan ingin
mengadu
Seolah mau
bertemu
Tentang rasa
yang ragu
Entah ini
semu
Atau benar
perasaanku
Kukepal
kedua tanganku
Ingin hati
menggenggammu
Apa daya
hanya bisa bertopang dagu
Menyaksikan
binar lampu
Kumpulan
bintang memelukku
Untukmu
Lelaki dalam
benakku
Kulepaskan
semua belenggu
Untuk
bertemu denganmu
Pada malam
rindu”
Sejenak dia
terpaku pada satu bintang yang paling terang. Dia tersenyum dan menutup buku
kecil itu. Mungkin dia telah tau apa yang sebenarnya membelenggui fikirannya
sedari tadi. Rasa rindu yang mencekam tapi lagi-lagi tak tersampaikan.
0 Comment:
Posting Komentar
Oit! Buru-buru amat. Sini ngasih komen dulu. Kali aja kita nyambung, gitu.