Gue terdiam didepan laptop dengan hati yang sedari tadi
‘masih’ berdebar-debar. Beberapa saat yang lalu diatas kasur, gue tidur
tengkurap dengan memegang hape di satu tangan sambil jari-jari asik mengscroll
layar hape dengan niat membawa diri ke rasa kantuk.
Sampai gue menemukan satu bacaan yang seketika membuat dada ini terasa sesak. Bukan karena sakit, tapi karena perasaan yang seolah meronta dan membangkitkan rasa rindu yang baru saja mencoba istirahat setelah sedikit ‘tenang’ ketika mendapat kabar darinya kalau dia sudah ditempat makan, menunggu, setelah tadi terjebak hujan dirumah dan tak bisa kemana-mana.
Sampai gue menemukan satu bacaan yang seketika membuat dada ini terasa sesak. Bukan karena sakit, tapi karena perasaan yang seolah meronta dan membangkitkan rasa rindu yang baru saja mencoba istirahat setelah sedikit ‘tenang’ ketika mendapat kabar darinya kalau dia sudah ditempat makan, menunggu, setelah tadi terjebak hujan dirumah dan tak bisa kemana-mana.
Tulisan ini bisa kalian baca di
http://keriba-keribo.blogspot.com/2014/11/mampir-ke-dalam-kepala.html?showComment=1415186798845#c2056748059422978241
Selama beberapa saat ketika bacaan itu terlintas di ingatan,
seakan ikut hanyut ke dalam memori itu, seakan hinggap dan memilih untuk
berdiam menikmatinya, mengingat kembali hari tak terlupakan, dimana kita memutuskan untuk bertemu.
Hari senin di tanggal 1 september yang tidak terencana. Sangat
teringat jelas. Pagi itu dengan gue yang sudah sarapan dengan kepanikan
menentukan baju buat ketemuan yang akhirnya jatuh pada pilihan yang simple, baju
putih polos dan jeans dengan rambut yang sedikit di krol. Perasaan resah ketika
dering telefon berbunyi sewaktu menelfonnya sore itu, menunggu dengan nasi
goreng yang tidak sampai setengah dihabiskan dan perlahan mendingin.
Senyum kecil yang tak bisa terhentikan ketika kemudian dia
membuka pintu dan berjalan masuk lalu menundukkan kepalanya dan bercanda dengan
melontarkan pertanyaan konyol, “Mbak, bisa ketemu devanya?” ketika gue duduk di
kursi kedua dari ujung tempat makan itu.
Langkah kaki yang berjalan beriringan dibawah binar lampu
kota Jakarta. Dipayungi daun-daun dari pepohonan yang ditanam disepanjang jalan
yang kita lewati. Kejailan yang dia buat ketika meloncat melewati pembatas yang
tidak terlalu tinggi, meninggalkan gue didepan slide door kaca dengan ekspresi
bingung karena pintunya rusak, yang kemudian kembali dihampirinya melewati
pintu samping yang ternyata tidak terkunci, mengajak gue masuk ke dalam gedung
tinggi itu. Menuju gedung dengan cahayanya yang tidak terlalu kontras, benar,
dengan aroma popcorn yang selalu menggoda.
Tawa kecil ketika kita memasuki teater dengan sedikit
terburu-buru karena film yang kita tonton sudah main. Baris C kursi 8 dan 9. Kita
berdua tengah duduk bersebelahan dikursi merah empuk. Dengan cahaya yang hanya
berasal dari layar depan. Dengan keresahan yang terjadi di dalam hati karena ingin mencuri
pandangan padanya yang sedang melihat ke layar dengan tangan yang dilipat ke
depan badan, memperhatikan dia sekilas lewat suaranya yang kadang tertawa
dengan adegan film kala itu.
Membuat posisi duduk gue tidak menentu. Kadang
menyandarkan badan ke kursi, kadang maju sambil menopang dagu di paha. Mencoba
fokus pada film tetapi fikiran seakan lari dan berfokus pada objek disebelah
kiri kursi. Tempat dia duduk.
Lalu sepotong coklat yang untuk beberapa saat mendekatkan
kita berdua. Dengan memberanikan diri menyuapinya potongan coklat yang gue beli
sebelum berangkat tadi. Suapan pertama coklat yang tidak tergigit sepenuhnya
olehnya, menyisakan potongan kecil yang kemudian gue makan. Rasa coklat yang
seolah terasa lebih manis dengan senyum kecil mengembang di bibir.
Caranya membuat lelucon diatas lampu yang ada dibawah pohon
depan gedung setelah selesai menonton. Tawa kecil, yang lagi dan lagi,
terdengar ketika dia menyuruh gue memipin jalan didepan setelah beberapa
langkah sebelumnya kita salah arah, menuntun ke tempat parkiran, yang akhirnya
berujung nyasar ke jalanan buntu.
Sepotong roti keju dan air mineral yang dia minum, juga soda
beraroma permen karet yang gue pegang dengan kedua tangan karena gelasnya kebesaran, menemani kita dengan perbincangan-perbincangan kecil
ketika kita berdua duduk di pinggir trotoar. Mengistirahatkan diri setelah
nyasar ke sebelah gedung tadi.
Dan ya, disanalah
kita, malam-malam, duduk berdampingan, sesekali terkena asap kendaraan yang
lewat.
Kini setelah menyelesaikan
kalimat demi kalimat dari tulisan yang dia buat itu membuat gue langsung
terjaga dengan otak yang memaksa menuangkannya kesini. Mencoba melanjutkan
detail cerita itu, cerita yang juga selalu ingin gue tulis kembali, membuat gue
lupa kalo ini sudah tengah malam.
Perasaan bahagia karenanya kini menjadi hobi baru yang
menyenangkan. Hobi yang membawa gue kedepan, untuk mencapai hadiah terbesar di
garis finish. Sampai pada saatnya kalimat yang kita berdua nanti-nantikan itu kelak
terucap,
“Berjuangnya kita sudah sejauh ini ya, sudah selesai. Sekarang,
pulang yuk.”
Dengan tangan gue yang melingkar indah di pinggangnya. Dengan
senyuman yang masing-masing terukir di bibir kita berdua. Suatu kecupan hangat
yang penuh kepastian dan keyakinan. Ya. Saat dimana nantinya kita bertemu kembali,
menetap, pada rumah hati sesungguhnya, untuk perasaan yang sedang tumbuh dan
coba kita rawat sekarang ini.
AAaa kereen Dev.
BalasHapusbacanya sambil merinding. Sweet banget sama bg Adi.
Makasih sayang :)
Hapus